Rabu, 27 Januari 2010

Salah Satu maka Salah Semua

Bookmark and Share
Tatkala kecukupan, baiknya ingat sewaktu kekurangan. Atau, betapa banyak orang lain yang kekurangan. Begitu juga sebaliknya. Ehh...tapi ini bukan peringatan lhoh..!! Kadang ada indahnya, tapi bisa jadi banyak sengaknya. Saya nulis ngalir saja...dan tak kan cukup kalimat mewakili perjalanan pikiran.

Ingat zaman dulu di sebuah hari, ketika masih harus sekolah. Sehabis ulangan, macem-macem bahasannya. Banyak sudut pandang. Masing-masing boleh mengukur dari sudut pandangnya. Coba deh, baca sepintas saja, jangan-jangan di antaranya ada yang sama ngalami seperti di bawah ini.

Sudut 1
Pak Guru nanya, "Hayoh...siapa yang mau protes." Jaman dulu sudah ada guru yang mengajari demokratis. Tapi tak banyak murid yang berani bicara, lebih banyak yang ngedumel setelah selesai. Ada teman yang nanya, "Pak, soal nomor lima ini sulit, caara ngerjakannya bagaimana." Pak Guru lalu ngasih tau pelajaran lalu, begini begitu. Manggut-manggut. Ada lagi yang tanya, "Pak, nilai saya kenapa 10 padahal ada yang salah jawabannya." Kata Guru, "Mana...bawa sini." Maka, hasil ulangan ditunjukkan, dan memang ada 1 jawaban salah, sehingga nilainya jadi 9 bukan 10. Pak Guru nambah komenta, "Kamu nii sombong...protes nilai, berkurang, tapi nilaimu tetap paling tinggi." Nadanya jengkel...dia merasa diprotes cara bersikapnya. Murid yang dikasi nilai 10 itu karena guru tak mengoreksi, tapi karena yakin bahwa anak satu ini biasanya tak pernah salah mengerjakan soal. Murid yang protes itupun sebenarnya juga tak aneh-aneh. Dia ngomong apa adanya, tapi kemudian menjadi merasa tidak dihargai kepolosannya itu.

Sudut 2
Pas istirahat, bahasan ulangan berlanjut. Istilah sekarang ya ngrumpi, gitu.
"Aku dapat nilai 4, habis...sulit sih soalnya."
"Saya juga dapat 4. Kamu belajar nggak kemaren?"
"Ya belajar. Sepintas. Tapi yang ku baca malah ga ada yang nyambung dengan soal. Kamu?"
"Saya belajar tiap hari. Tapi, nggak tau deh. Ketika mengerjakan soal ga bisa. Waktu ulangan sebelumnya, sudah belajar setengah mati. Ulangan pun merasa bisa, tapi nilainya jelek juga."
"Si Topik itu lho...katanya ga pernah belajar, tapi hasil ulangannya bagus-bagus."
Yang paling kelihatan naas itu, kayaknya, murid yang merasa sudah berusaha keras, begitu yakin mampu menyelesaikan ulangan, tapi hasilnya tak memuaskan. Sebut saja selalu jelek. Rasanya, semua predikat jelek ditimpakan. Apa benar begitu, kendati dia yakin bahwa pasti ada hikmahnya.

Sudut 3
Ada murid yang memuji betapa kreatif gurunya, bikin soal sulit-sulit. Tapi lebih banyak yang mencerca, guru kok senengnya bikin bikin repot murid. Nilai jelek-jelek sekelas itu kan karena guru bikin soalnya sulit-sulit. Guru yang jadi sasaran salah.

Sudut mana
Masih ada sudut-sudut lain. Ada yang bolos saat ulangan. Ada yang nangis karena dibisikin guru, "kalau nilaimu jelek nanti kamu ga naek kelas." Ada yang sampai terkencing-kencing karena ingin memecahkan soal tapi lupa kebelet yang tak tertahan. Ada yang nilai ulangan bagus-bagus tapi di raport jadinya 4 karena guru tak suka pada murid itu.

Ternyata, banyak situasi pengalaman yang sebenarnya terjadi lagi di masa mendatang. Beda modusnya, beda situasinya. Beda tata caranya. Qiyas. Hikmah terpenting adalah "perlu mensikapi tiap situasi secara kreatif dan intuitif". Apapun konsekuensinya. Bukan harus menghiraukan dapat nilai berapa. Nilai 10 toh bukan jaminan naik surga. Dan bukan pula karena salah satu maka semua jadi salah, seperti ibarat rusak susu sebelanga karena setitik nila. Bukankah itu murka, atau amarah, atau kebencian. Salah satu sifat Tuhan memang murka, tapi Tuhan juga maha pengasih dan maha penyayang.

3 komentar:

terimakasih untuk siapa pun yang sudah meninggalkan komentarnya di sini...